Banda Aceh – Militer Israel telah menyelipkan bahan peledak ke sejumlah pager buatan Taiwan untuk melakukan ledakan massal terhadap anggota Hizbullah di Lebanon pada hari Selasa. Para pejabat Amerika Serikat yang menerima penjelasan tentang serangan Israel di Lebanon tersebut melaporkan hal ini kepada The New York Times. Hizbullah memesan pager tersebut dari perusahaan Taiwan Gold Apollo, namun pager tersebut rusak sebelum sampai ke Lebanon, menurut klaim beberapa pejabat AS.
Sebagian besar pager yang dibuat adalah model AP924, meskipun ada tiga model Gold Apollo lainnya yang ikut dikirimkan, demikian laporan tersebut. Setidaknya satu hingga dua ons (sekitar 30 hingga 60 gram) bahan peledak ditanam di samping baterai di setiap pager, kata dua sumber, sementara detonator juga tertanam yang dapat dipicu dari jarak jauh.
Setidaknya sembilan orang tewas dan 2.750 lainnya luka-luka setelah pager yang digunakan oleh anggota kelompok Hizbullah yang didukung Iran meledak secara bersamaan di Lebanon dan Suriah.
Israel belum mengklaim serangan tersebut. Pada pagi hari Selasa, Topaz Luk, penasihat dekat Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, mengisyaratkan dalam sebuah unggahan di X bahwa Israel berada di balik ledakan perangkat radio nirkabel di seluruh Lebanon, namun kemudian menghapus unggahan tersebut.
Pager atau penyeranta, yang sering digunakan oleh warga sipil dan petugas kesehatan untuk berkomunikasi, adalah perangkat nirkabel kecil yang bertenaga baterai dan menerima pesan teks, audio, dan sinyal visual.
Menurut media Israel Walla, operasi serangan pager di Lebanon adalah upaya untuk “menetralkan sebagian besar sistem komando dan kendali militer Hizbullah.” Kementerian Kesehatan Lebanon telah meminta warga negara yang memiliki perangkat komunikasi penyeranta untuk segera membuangnya.
Ledakan massal ini terjadi di tengah serangan lintas batas antara Hizbullah dan Israel, dengan latar belakang serangan brutal Israel di Jalur Gaza yang telah menewaskan lebih dari 41.200 orang, sebagian besar wanita dan anak-anak, setelah serangan Hamas pada 7 Oktober tahun lalu.