GAZA – Komunitas internasional sepakat untuk menekan Israel agar tidak melancarkan serangan di Rafah yang dipenuhi pengungsi. Meskipun demikian, pemerintah Israel sepertinya masih enggan mendengarkan seruan tersebut.
Jerman, sekutu Israel yang paling gigih, juga ikut memberikan tekanan. Mereka menekankan agar Israel tidak melakukan serangan terbuka ke Rafah setelah ada laporan bahwa tank-tank Israel mulai dikerahkan.
“Saya memperingatkan akan adanya serangan besar-besaran di Rafah,” kata Menteri Luar Negeri Jerman Annalena Baerbock dalam unggahannya di X. “Satu juta orang tidak bisa hilang begitu saja. Mereka membutuhkan perlindungan. Mereka memerlukan bantuan kemanusiaan lebih segera… penyeberangan perbatasan Rafah dan Kerem Shalom [Karem Abu Salem] harus segera dibuka kembali.”
Sementara itu, Amerika Serikat menekankan pentingnya Israel untuk menyetujui kesepakatan pertukaran tahanan dan gencatan senjata yang sudah disepakati dengan Hamas. Departemen Luar Negeri AS hanya menyatakan pandangannya mengenai invasi darat besar-besaran di wilayah itu kepada Israel. Mereka meyakini bahwa kesepakatan pertukaran tahanan akan menghasilkan gencatan senjata dan memungkinkan bantuan kemanusiaan yang lebih besar ke Gaza.
Dalam pidatonya, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mendesak sekutu Israel untuk menekan pimpinannya agar menghentikan perang di Gaza. “Saya menghimbau kepada semua pihak yang memiliki pengaruh terhadap Israel untuk melakukan segala upaya mereka untuk mencegah tragedi yang lebih besar. Komunitas internasional memiliki tanggung jawab bersama untuk mendorong gencatan senjata kemanusiaan, pembebasan semua sandera tanpa syarat, dan peningkatan bantuan untuk menyelamatkan nyawa,” katanya. “Sudah waktunya bagi para pihak untuk mengambil kesempatan dan mengamankan kesepakatan demi kepentingan rakyat mereka sendiri.”
Israel memiliki kewajiban yang ketat berdasarkan hukum humaniter internasional untuk menjamin keselamatan warga sipil di Gaza, kata juru bicara kantor hak asasi manusia PBB. Hal ini disampaikan setelah pasukan Israel merebut perbatasan Rafah dengan Mesir dalam serangan terhadap kota di selatan tersebut.
Ravina Shamdasani menyatakan, menurut hukum internasional, Israel harus memastikan warga sipil memiliki akses terhadap perawatan medis, makanan yang cukup, air bersih, dan sanitasi. “Kegagalan untuk memenuhi kewajiban ini dapat mengakibatkan pengungsian paksa, yang merupakan kejahatan perang,” ujarnya. “Ada indikasi kuat bahwa serangan di Rafah dilakukan dengan melanggar hukum kemanusiaan internasional.”
Hingga saat ini, gelombang serangan Israel sejak Senin malam di Rafah telah menewaskan setidaknya 23 orang, termasuk enam wanita dan lima anak-anak. Seorang pria di Rafah, Mohamed Abu Amra, kehilangan lima kerabat dekatnya dalam serangan yang menghancurkan rumahnya. “Kami tidak melakukan apa pun… kami bukan Hamas,” katanya.
Rafah, yang berbatasan dengan Mesir, merupakan tempat berlindung terakhir bagi warga Gaza yang sudah tujuh bulan menjadi target serangan Israel. Sekitar 1,2 juta orang mengungsi di wilayah yang sebelumnya hanya ditempati oleh sekitar 200 ribu orang.
Selain melakukan serangan militer, Israel juga menguasai perlintasan dengan Mesir, tempat masuknya bantuan kemanusiaan. Mereka menghalangi bantuan tersebut masuk ke Gaza, yang akan memperburuk krisis kemanusiaan di sana.
Sampai saat ini, belum ada tanda-tanda bahwa Israel akan menyetujui gencatan senjata. Sebaliknya, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, yang sedang diselidiki oleh ICC sebagai penjahat perang, menegaskan niatnya untuk menyerang Rafah guna “menghabisi Hamas.”