Solidaritas yang Menyentuh Hati antara Warga Khan Younis dan Pengungsi Gaza

by -222 Views

GAZA – Di trotoar di luar rumah Jamil Abu Assi di kota Bani Suhaila, selatan Gaza, pria berusia 31 tahun ini sibuk bersama sepupunya memasak makanan dalam kuali besar. Sebelumnya, Abu Assi sering memasak makanan rumahan sesuai permintaan orang, namun sikapnya berubah setelah serangan udara Israel menghancurkan dapurnya pada tahun 2014 di Jalur Gaza.

Keluarga Abu Assi masih tetap memasak, tetapi tujuan mereka sekarang adalah untuk membantu pengungsi yang terkena serangan dan pengepungan Israel di Gaza. Ini adalah misi yang sedang diuji dengan cara yang belum pernah dilakukan sebelumnya.

Menurut PBB, sejak Israel mulai membombardir Jalur Gaza pada tanggal 7 Oktober, satu juta warga Palestina di Jalur Gaza menjadi pengungsi. Total populasi di wilayah yang diblokade tersebut adalah 2,3 juta jiwa, yang berarti setengah dari jumlah penduduknya telah mengungsi.

Banyak dari mereka yang pindah ke wilayah selatan Jalur Gaza setelah adanya peringatan berulang kali dari militer Israel untuk meninggalkan wilayah bagian utara. Setiap hari, keluarga Abu Assi memasak 2.000 hidangan untuk memberi makan orang-orang yang tiba di Khan Younis. Dengan begitu, populasi kota di selatan menjadi lebih dari setengah juta orang, meningkat dari sekitar 220 ribu orang pada 2021.

“Saya memulai pagi saya dengan mencari kayu karena kami tidak memiliki gas untuk memasak,” kata Abu Assi dikutip dari Aljazirah. Blokade total Israel terhadap pasokan bahan bakar ke Gaza telah diberlakukan sejak tanggal 7 Oktober. Namun, mencari kayu juga berisiko karena berada dekat dengan perbatasan Israel.

Namun, Abu Assi dan sepupunya tetap melanjutkan misi mereka. Mereka membagi peran mereka agar lebih efisien. Salah satu orang bertugas memotong bawang, orang lain menambahkan bahan dan mengaduk panci, dan orang ketiga membungkus dan mengemas makanan.

Sebagian besar makanan yang disediakan termasuk nasi, lentil, dan freekeh, sereal yang terbuat dari biji-bijian hijau. Sedangkan daging menjadi sulit didapatkan karena banyak toko daging yang tutup setelah terkena serangan bom Israel dan karena pasokannya yang kurang.

“Kami berusaha untuk melakukan bagian kami, sekecil apapun dia, dalam meringankan krisis ini bagi masyarakat,” kata Abu Assi.

Kampanye pengeboman Israel yang merusak terjadi setelah serangan mendadak yang dilakukan Hamas di Israel selatan pada tanggal 7 Oktober. Sebagai balasan, Israel melakukan pengeboman di Gaza yang menyebabkan banyak gedung hancur dan menewaskan lebih dari 4.600 warga Palestina selama 16 hari. Korban jiwa tersebut termasuk 1.873 anak-anak dan 1.023 perempuan.

Namun, bagi Abu Assi dan warga Palestina di Gaza, di wilayah pendudukan Tepi Barat, dan bahkan di Israel, agresi terbaru ini hanya mengingatkan tentang sejarah pribadi mereka. Abu Assi adalah pengungsi generasi ketiga yang berasal dari Jaffa, tempat kakek dan neneknya mengungsi pada peristiwa Nakba tahun 1948.

Lebih dari 750 ribu warga Palestina diusir secara paksa dari tanah dan rumah mereka. Sekitar 500 kota dan desa dihancurkan dan ribuan orang terbunuh dalam proses pembersihan etnis yang dilakukan oleh milisi Yahudi dan militer negara Israel yang baru terbentuk.

“Kakek kami memberitahu kami bahwa menjadi pengungsi adalah hal yang sangat sulit, dan kepahitan ini tidak akan pernah terlupakan dan diwariskan kepada setiap generasi,” kata Abu Assi mengingat-ingat.

“Rasa sakit hati kami tidak akan pernah membuat kami memaafkan Israel atas apa yang mereka lakukan dan terus lakukan terhadap kami,” ujarnya.

Anak-anak yang terkena dampak perang kali ini tidak akan pernah melupakan pengalaman bertahan hidup tanpa makanan, air, atau listrik. Namun, di tengah teror dan trauma akibat serangan roket dan pengepungan, sebuah komunitas telah bersatu.

Beberapa orang telah mendekati keluarga Abu Assi untuk mengetahui apa bantuan yang bisa mereka berikan kepada pengungsi Palestina. “Ada solidaritas sosial yang indah di kota Khan Younis,” kata Abu Assi.

“Kami tidak bisa menerima orang-orang yang kelaparan dan tidak bisa mendapatkan makanan, jadi sudah ada kerjasama organik untuk memastikan inisiatif ini tetap berjalan,” lanjutnya.

Untuk mengakomodasi kebutuhan makanan yang semakin meningkat karena jumlah pengungsi yang ditampung di Khan Younis, Abu Assi telah menambah jumlah kompor masak dan membagi pekerjaan menjadi dua tim. Persiapan makanan dimulai pada pukul 07.00 dan proses memasak berlangsung hingga pukul