ADVERTISEMENTS
GAZA — Warga Gaza merekam kaleng-kaleng minuman ringan Coca-Cola yang ditinggalkan oleh pasukan Israel di wilayah Khan Younis setelah melakukan serangan. Bagaimana ceritanya?
Dalam video yang beredar di media sosial, terlihat seorang warga Palestina mengambil kaleng Coca-Cola kosong dari reruntuhan di Gaza. “Tentara penjajah meninggalkan kaleng ini setelah melakukan operasi militer di Hamad,” kata warga tersebut dalam video. “Ada banyak sekali kaleng-kaleng ini,” lanjutnya.
Ia kemudian menyerukan boikot terhadap produk tersebut. “Teruslah lakukan boikot karena harga darah kami tidak murah. Boikotlah untuk anak-anak di Gaza, boikotlah untuk darah saudaramu di Gaza, boikotlah untuk tangisan perempuan di Gaza,” seruannya.
Dalam pernyataan resminya, Coca-Cola menyatakan tidak mendukung militer manapun. Namun bagaimana bisa minuman itu menjadi bawaan pasukan Israel?
Merujuk Times of Israel, selama beberapa tahun terakhir, pemuda dari Golan telah terlibat dalam proyek membagikan paket Coca-Cola dan makanan ringan Bamba kepada tentara Israel. Hal itu sebagai penghormatan untuk Mayor Yochai “Juha” Kalengel, yang tewas pada Januari 2015 oleh tembakan rudal antitank dari kelompok Hizbullah saat berpatroli dengan unitnya di dekat perbatasan Lebanon.
Inisiatif ini, “Operasi Juha,” dimulai pada tahun yang sama oleh pemuda dari komunitas Moshav Yonatan setelah bertemu dengan ayah Kalengel.
Ayah Kalengel, yang bekerja di bank, mengungkapkan bahwa ia melihat banyak tagihan tertentu pada kartu kredit putranya dengan jumlah tertentu, tetapi ia tidak tahu apa tagihannya. Kemudian ia mengetahui bahwa putranya, seorang perwira, “akan membeli Bamba dan Coca-Cola untuk tentaranya saat seseorang lelah atau kurang termotivasi,” kata Babihi.
Setelah percakapan tersebut, seseorang mendapatkan ide untuk membagikan Coca-Cola dan Bamba kepada tentara setiap tahun pada peringatan kematiannya, yang jatuh pada 8 Shevat dalam kalender Ibrani. Tahun ini, tanggal tersebut jatuh pada Kamis, 18 Januari.
“Semuanya dimulai dari hal yang kecil di Golan, para pemuda membawa makanan ringan untuk tentara dan hal itu terus berkembang. Tahun lalu kami memberikan 50.000 paket dan tahun ini kami berharap dapat memberikannya kepada 100.000 tentara,” kata Babihi.
Dilansir the Foreign Policy, Timur Tengah, khususnya Mesir, menjadi pasar utama Coca-Cola setelah Perang Dunia Kedua. Sejarawan Maurice Labelle mencatat bahwa perusahaan ini mendirikan beberapa pabrik pembotolan di Mesir untuk membantu memproduksi ratusan juta botol per tahun pada tahun 1950. Coca-Cola memposisikan dirinya sebagai mitra dalam upaya modernisasi Mesir. Perusahaan tersebut menyoroti bagaimana mereka meningkatkan standar hidup melalui investasi dan menciptakan lapangan kerja. Mereka berusaha melakukan segala yang mereka bisa untuk memperlihatkan diri mereka sebagai kekuatan Amerika—disebut sebagai “Kolonisasi Coca.” Namun, tujuan tersebut terhenti ketika Coca-Cola terlibat dalam konflik Arab-Israel.
Pada tahun 1966, Anti Defamation League, sebuah kelompok advokasi Yahudi yang berbasis di Amerika Serikat, menuduh perusahaan ini menuruti boikot Arab terhadap Israel dengan alasan bahwa Coca-Cola tidak memberikan lisensi kepada perusahaan pembotolan Israel meskipun perusahaan tersebut menjualnya di tempat lain di Timur Tengah. Perusahaan tersebut membantah tuduhan tersebut. Mereka berpendapat bahwa Israel (negara yang pada saat itu jauh lebih miskin dan lebih kecil) tidak sesuai dengan model bisnis mereka. Namun, menurut Pendergrast, banyak orang Yahudi Amerika yang marah. Boikot segera muncul. Institusi seperti Rumah Sakit Mount Sinai dan restoran hot dog terkenal Nathan meninggalkan Coke. Coca-Cola cepat menemukan mitra di Israel, dalam upaya untuk melindungi pasar Amerika. Namun, langkah tersebut justru melanggar larangan boikot Arab. Boikot ini dirancang pada tahun 1945, awalnya melarang pembelian produk yang dibuat di sektor Yahudi di Palestina di seluruh dunia Arab.