Military Leadership: Grand General TNI Sudirman

by -218 Views

Dengan berbagai keputusan teladannya sebagai Panglima TNI pertama, Jenderal Sudirman telah memberikan warisan yang hebat dan mulia bagi generasi TNI selanjutnya: Sebuah tradisi kepahlawanan dalam bentuknya yang terbaik.

Beliau meninggalkan dasar-dasar harga diri dan kebanggaan bagi para pemimpin TNI generasi mendatang. Karakter dan tindakan Pak Dirman pada saat itu mencerminkan karakter dan tindakan seorang pemimpin pejuang sejati.

Keberanian beliau telah memberikan TNI reputasi sebagai kekuatan yang tak kenal lelah yang mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan individu atau kelompok. Beliau mengukuhkan gagasan bahwa prajurit TNI harus berani mengorbankan segalanya demi kehormatan dan kemuliaan bangsa.

Jenderal Sudirman lahir di Purbalingga pada 24 Januari 1916. Beliau adalah seorang guru sekolah dasar di sebuah sekolah yang dikelola Muhammadiyah di Solo, yang saat itu bernama Surakarta. Ketika para pemimpin gerakan kemerdekaan Indonesia berhasil meyakinkan penduduk Jepang bahwa mereka harus mengizinkan penduduk Indonesia membentuk organisasi militer pertahanan diri, berbagai organisasi militer diorganisir di bawah pengawasan ketat Jepang.

Di Jawa, pasukan ini disebut Pembela Tanah Air (PETA). PETA di Jawa diorganisir di tingkat kabupaten, dan ada sekitar 60 batalyon sukarelawan PETA yang dilatih dan diorganisir. Komandan batalyon dipilih dari pemimpin pribumi yang sangat dihormati di kabupaten mereka.

Di Purwokerto, seorang kepala sekolah muda dari sekolah menengah Islam di bawah naungan Muhammadiyah terpilih. Hal ini menunjukkan bagaimana, sebagai seorang kepala sekolah muda, Sudirman sudah dikenal dan dihormati karena integritas dan karakter yang teguh. Pemuda yang memiliki pendidikan dan reputasi baik terpilih menjadi komandan perusahaan dan komandan peleton. Mereka dilatih oleh Jepang di pusat pelatihan perwira di Bogor. Di antara para komandan perusahaan ada nama-nama seperti Suharto, Ahmad Yani, Kemal Idris, Surono, Sarwo Edhie, dan banyak nama lain yang kemudian terkenal sebagai pemimpin TNI.

Selama perang, para komandan PETA ini segera mengambil alih kepemimpinan batalyon mereka dan bersumpah setia pada republik yang baru diumumkan pada 17 Agustus 1945. Sebagai pemimpin batalyon Purwokerto, Sudirman segera bergerak menuju Magelang, salah satu pusat konsentrasi militer sejak zaman kolonial Belanda. Setelah merebut Magelang pada akhir 1945, Sudirman terus mengejar pasukan Inggris yang menduduki Hindia Belanda.

Meskipun Inggris telah berencana untuk mundur, unit-unit Sudirman terus mengganggu pasukan Inggris sehingga kepergian mereka dipercepat. Di mata pejuang kemerdekaan Indonesia, beliau menjadi tokoh pahlawan yang mewakili semangat juang TNI. Beliau diakui telah mendorong dan mengejar pasukan Inggris keluar dari Magelang dan memimpin serangan Ambarawa terhadap mereka. Ini merupakan pukulan telak yang memastikan bahwa Jawa Tengah berada di bawah kontrol penuh Republik Indonesia.

Setelah peristiwa di mana Sudirman mencapai ketenaran dan mendapat penghormatan dari sesama komandan batalyon di sekitar Jawa Tengah dan Jawa Timur, Presiden Sukarno, melalui Menteri Pertahanan, menunjuk Urip Sumarjo sebagai Panglima Angkatan Bersenjata Rakyat (TKR) pertama pada 5 Oktober 1945. Pejabat senior tertinggi Angkatan Darat Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) saat itu, Urip Sumoharjo, diangkat sebagai Panglima Besar.

Beliau bersumpah setia pada TNI. Beliau dianggap sebagai tentara aktif yang paling profesional dan berpengetahuan luas di Indonesia. Namun, para pemimpin semua batalyon di Jawa memrotes bahwa mereka tidak ingin memiliki Panglima Besar yang dilatih oleh Belanda. Mereka semua memilih Sudirman sebagai Panglima Besar. Keputusan mereka dikomunikasikan kepada Presiden Sukarno. Untuk menjaga kesatuan dan kedamaian republik muda, Presiden Sukarno mengubah keputusannya. Sudirman diangkat sebagai Panglima Besar TKR, dan Urip Sumoharjo menjadi Kepala Staf Umum di bawahnya.

Pada 19 Desember 1948, meskipun kesepakatan gencatan senjata di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Belanda melancarkan operasi militer dalam bentuk serangan mendadak di Yogyakarta, ibu kota Republik Indonesia saat itu. Banyak yang menyamakan serangan ini dengan serangan mendadak Jepang terhadap Pearl Harbor pada tahun 1941 atau tikaman di belakang Signor Mussolini terhadap Prancis pada tahun 1940. Menghadapi kenyataan ini, banyak pemimpin negara saat itu memutuskan untuk tidak bertahan dan melawan serta membuktikan ketidaksaheannya atas tindakan Belanda melalui upaya diplomasi dan politik.

Pada akhir 1948, Jenderal Sudirman, Panglima TNI pertama, menderita tuberkulosis parah. Kesehatannya sangat buruk, dan beliau hanya memiliki satu paru-paru yang berfungsi setelah operasi. Meskipun sakit, Sudirman meninggalkan rumah sakit tempat beliau dirawat dan pergi menemui Presiden Sukarno pada awal serangan mendadak Belanda. Beliau menyarankan agar Presiden meninggalkan Yogyakarta dengan Wakil Presiden Mohammad Hatta dan Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan memimpin perang gerilya melawan penetrasi Belanda. Namun, Presiden Sukarno menolak untuk memimpin perang gerilya.

Sukarno bahkan memerintahkan Jenderal TNI Sudirman untuk tetap berada di kota karena kondisi medisnya yang parah. Presiden Sukarno, bersama hampir semua anggota kabinetnya, memilih untuk tidak meninggalkan kota untuk berjuang dan memberikan perlawanan yang sangat sedikit ketika pasukan Belanda yang maju mengepung mereka.

Jenderal Sudirman memutuskan untuk meninggalkan Yogyakarta dan melakukan perang gerilya melawan musuh. Berdasarkan catatan sejarah, dapat disimpulkan bahwa rakyat Indonesia sangat kecewa dengan kabar penangkapan Presiden, Wakil Presiden, dan Perdana Menteri Indonesia. Namun, perlawanan sengit yang dilakukan oleh Jenderal TNI Sudirman dan pasukannya meningkatkan moral seluruh bangsa, dan TNI akhirnya berhasil memenangkan pertempuran.

Dengan berbagai keputusannya yang teladan, Jenderal Sudirman telah memberikan kepada generasi TNI selanjutnya warisan yang hebat dan mulia, yaitu tradisi kepahlawanan dalam bentuknya yang terbaik. Kepemimpinannya dalam perang gerilya melawan Belanda meninggalkan dasar harga diri dan kebanggaan bagi para pemimpin TNI generasi mendatang.

Jenderal Sudirman telah menunjukkan bahwa beliau memiliki kepribadian yang kuat dan tidak kekurangan keberanian, sikap teguh, dan semangat pengorbanan yang tulus. Beliau sadar bahwa ada kemungkinan besar beliau akan terluka dan tidak menerima perawatan medis yang memadai selama perang gerilya tersebut. Namun, beliau memilih untuk mengorbankan nyawanya demi kepentingan bangsa Indonesia. Tindakannya meningkatkan kepercayaan bawahannya dan rakyat luas di hadapan serangan Belanda.

Sulit untuk membayangkan bagaimana jadinya jika, pada saat itu, Jenderal Sudirman juga ditahan oleh Belanda. Sikap dan tindakan Pak Dirman saat itu tidak lain adalah sikap dan tindakan seorang pemimpin pejuang sejati. Perbuatannya telah memberikan TNI reputasi sebagai kekuatan yang tak kenal lelah yang mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan individu atau kelompok. Beliau menegaskan tradisi TNI untuk mengorbankan segalanya demi kehormatan dan kemuliaan bangsa.

Source link