LEADERSHIP OF INDONESIAN NATIONAL LEADERS [RADEN MAS TUMENGGUNG ARIO SOERJO (GOVERNOR SURYO)]

by -241 Views

Oleh: Prabowo Subianto [diambil dari Buku: Catatan Kepemimpinan Militer dari Pengalaman Bab I]

Bung Tomo sering diakui sebagai pemimpin revolusioner yang dapat mengobarkan semangat rakyat, tetapi Gubernur Suryo juga merupakan seorang orator berbakat. Pidatonya menandai dimulainya perang sejarah untuk Surabaya.

Bayangkan ini. Gubernur Suryo bahkan bukan seorang prajurit. Dia bukan personil militer. Tetapi dia memahami bahwa dia memiliki tanggung jawab sejarah untuk bertahan. Dia memahami peran kepemimpinannya: Seorang pemimpin harus sopan, harus membela kehormatan bangsa. Dia mewakili rakyatnya. Dia telah menunjukkan contoh yang besar bagi generasi muda tentang bagaimana seorang pemimpin mengambil keputusan sulit dan bertindak tegas dalam mempertahankan tanah airnya.

Gubernur Suryo merupakan bagian integral dari peristiwa pada tanggal 10 November 1945. Dia berada di balik keputusan memulai Pertempuran Surabaya, salah satu peristiwa sejarah terpenting yang pernah dilakukan oleh rakyat Indonesia. Ini adalah pertempuran besar antara arek-arek Suroboyo, yang terdiri dari para pemuda dan siswa madrasah Surabaya, dengan Tentara Inggris. Ini adalah peristiwa heroik dalam pertempuran untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia yang sulit dicapai.

Pertempuran besar melawan pemenang Perang Dunia II berlangsung selama tiga minggu, menelan korban jiwa lebih dari 16.000 pejuang Indonesia dan mengungsi 200.000 warga sipil. Pertempuran besar dan ganas tersebut diperingati setiap tanggal 10 November di Indonesia sebagai Hari Pahlawan.

Pertempuran Surabaya dimulai dengan kematian Brigadir Jenderal Aubertin Walter Sothern (AWS) Mallaby, yang tewas dalam baku tembak antara pejuang Indonesia dan pasukan Inggris pada 30 Oktober 1945. Ini merupakan puncak dari pertempuran hampir satu minggu antara Brigade yang dikomandani oleh Mallaby dan pasukan Indonesia di Surabaya. Mallaby melakukan kesalahan besar dengan membagi brigade-nya menjadi satuan tingkat peleton yang menduduki banyak pos terpencil di Surabaya. Pada saat itu, unit-unit bersenjata Indonesia berjumlah puluhan ribu setelah merebut ribuan senjata dari Jepang. Beberapa adalah pasukan resmi. Ada pula yang relawan. Ada juga kelompok bersenjata. Dengan demikian, peleton-peleton ini tidak bisa saling membela karena terlalu tersebar di kota sebesar Surabaya. Brigade tersebut dihancurkan sebagai kekuatan terorganisir. Tindakan ini berujung pada pembunuhan Mallaby. Tentu saja, ini mempermalukan Inggris. Mereka marah. Mereka menuntut pembunuhnya ditangkap, dan unit-unit Indonesia dinonaktifkan.

Inggris marah atas kematian jenderal mereka, menuntut agar pelakunya ditangkap.

Serangkaian pertemuan yang dilakukan oleh Komandan Divisi ke-5 Tentara Inggris, Mayor Jenderal Robert C. Mansergh, dengan Gubernur Jawa Timur, berakhir dengan kebuntuan.

Akhirnya, setelah Salat Jumat pada tanggal 9 November 1949, Tentara Inggris mengeluarkan ultimatum dengan menjatuhkan pamflet dari udara untuk semua warga Surabaya membacanya. Ultimatum menuntut agar semua pemimpin perlawanan Indonesia menyerah dan agar semua orang Indonesia yang tidak berwenang membawa senjata menyerahkan senjata mereka. Semua perempuan dan anak-anak Indonesia diperintahkan untuk meninggalkan kota menuju Mojokerto dan Sidoarjo.

Batas waktu yang diberikan untuk ultimatum itu adalah pukul 18.00. Jika perintah tersebut tidak dipatuhi, Tentara Inggris bersumpah akan menghancurkan seluruh kota. Tentu saja, ultimatum tersebut menimbulkan kepanikan di kalangan warga Surabaya. Tetapi kelompok pemuda militan yang dipimpin oleh Bung Tomo, yang awalnya menolak tuntutan Inggris, menyatakan bahwa mereka siap untuk perang.

Gubernur Suryo meminta warga Surabaya untuk tetap tenang karena mereka harus menunggu perintah dari Jakarta. Pemerintah pusat yang dipimpin oleh Bung Karno kemudian menyerahkan sepenuhnya keputusan tentang bagaimana merespons kepada rakyat Surabaya.

Pada saat kritis itu, Gubernur Suryo harus membuat keputusan penting yang akan menentukan masa depan Surabaya dan, secara luas, Indonesia. Keputusannya akan menunjukkan kepada dunia apakah Indonesia adalah bangsa besar yang mampu bertahan dari serangan militer besar oleh pasukan asing. Bangsa ksatria ini tidak takut kepada siapa pun, termasuk negara adidaya seperti Inggris, untuk mempertahankan kedaulatannya. Atau, jika dia memutuskan untuk menerima ultimatum, Indonesia akan kembali menjadi bangsa yang ditaklukkan, bangsa yang terhina, bangsa yang merunduk di bawah ultimatum yang dikeluarkan oleh pasukan asing, dan menyerah sebelum pertempuran dimulai. Keputusan besar ini hanya bisa diambil oleh Gubernur Suryo.

Saat menjelang batas waktu yang ditetapkan oleh Inggris berakhir, Gubernur Suryo menyampaikan keputusan besar kepada rakyat Surabaya melalui radio. Berbeda dengan Bung Tomo, pidatonya tidak berapi-api. Namun, pidato singkat yang disampaikan dengan tenang cukup kuat untuk memobilisasi semua orang yang mendengarkannya untuk bersiap-siap mempertahankan Surabaya.

Meskipun Bung Tomo diakui sebagai seorang pemimpin revolusioner yang dikenal karena orasinya yang menggebu-gebu dan mampu membangkitkan massa, nada tenang namun tegas dari Gubernur Suryo sama kuatnya. Pidato Gubernur Suryo berfungsi sebagai ‘seruan pertama’ yang menandai dimulainya pertempuran bersejarah. Kita hanya bisa membayangkan emosinya saat dia berbicara kepada rakyat Surabaya.

Lebih sulit lagi untuk memahami, mengingat Gubernur Suryo bahkan bukan seorang prajurit. Namun, dia sepenuhnya menyadari perannya sebagai seorang pemimpin: Seorang pemimpin harus berani untuk mengambil keputusan sulit dan bertindak tegas dalam mempertahankan kehormatan tanah airnya. Dia mewakili rakyatnya. Dia adalah harapan rakyatnya. Begitulah kualitas kepemimpinan hebat yang telah dia tunjukkan kepada generasi muda.

KAMI LEBIH MEMILIH HANCUR DARIPADA DIJAJAH LAGI!

Saudara dan Saudari-saudari,

Pemimpin-pemimpin kita di Jakarta telah berupaya sekuat tenaga untuk mengelola perkembangan di Surabaya. Tetapi sayangnya, semua itu sia-sia. Sekarang tugas berada pada kita, rakyat Surabaya, untuk menentukan langkah selanjutnya. Semua upaya kita untuk bernegosiasi gagal. Untuk mempertahankan kedaulatan bangsa kita, kita harus tetap mempertahankan dan menegaskan tekad kita untuk menghadapi segala kemungkinan.

Berulang kali, kita telah menyatakan posisi kita: Lebih baik kami hancur daripada direkolonisasi. Sekarang, menghadapi ultimatum Inggris, kami akan tetap mempertahankan sikap tersebut. Kami akan tetap teguh menolak ultimatum tersebut.

Di hadapan setiap kemungkinan besok, mari kita semua menjaga persatuan antara pemerintah, rakyat, Tentara Keamanan Rakyat (TKR), kepolisian, pemuda, dan organisasi perlawanan rakyat di tingkat akar rumput. Marilah kita berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar diberi kekuatan dan Berkah serta Pimpinan-Nya dalam pertempuran ini.

Selamat berjuang!

Gubernur Jawa Timur, R. M. T. Ario Soerjo

Source link