Diplomacy in the Prabowo Era: Legacy and Insights from Prof. Sumitro Djojohadikusumo

by -76 Views

Bagaimana Diplomasi Luar Negeri Indonesia Akan Terlihat di Era Presiden Prabowo Subianto?

Sebagai putra Sumitro Djojohadikusumo, banyak yang mengantisipasi bahwa banyak strategi diplomasi Prof. Sumitro akan diwarisi dan dilaksanakan oleh putranya, Presiden terpilih Prabowo Subianto.

Pendekatan ini melibatkan pemanfaatan kekuatan naratif dan kekerabatan untuk membangun soft power Indonesia.

Dikenal sebagai seorang ekonom Indonesia yang prominent, tidak banyak yang tahu bahwa Prof. Sumitro juga seorang diplomat yang luar biasa.

Salah satu contoh signifikan dari upaya diplomasi Prof. Sumitro tertuang dalam sebuah artikel New York Times.

Plea Sumitro saat berusia 31 tahun kepada Pemerintah AS, yang dipublikasikan di New York Times pada 21 Desember 1948, berhasil menghentikan aliran dana bantuan Amerika ke Belanda, yang digunakan untuk operasi militer Belanda setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Prof. Sumitro menulis:

“Kampanye militer Belanda saat ini sayangnya telah membawa kesadaran yang mengerikan atas ketakutan yang telah lama ada dalam pikiran semua orang yang baik hati. Dalam sejarah modern bangsa-bangsa, hanya tikaman Signor Mussolini pada tahun 1940 dan serangan mendadak Jepang ke Pangkalan Udara Pearl Harbor pada tahun 1941 dapat dibandingkan dengan tindakan Belanda yang tercela ini tanpa peringatan.”

“Tidak ada alternatif lain bagi Republik Indonesia selain menjalani kehidupan sendiri dan berusaha sebaik mungkin sebagai negara yang terpisah, independen, dan berdaulat.”

“Kami dengan hormat namun dengan segera meminta Pemerintah Amerika Serikat untuk menghentikan pemberian dolar Amerika kepada Belanda dalam Program Pemulihan Eropa atau lainnya.”

Pada saat itu, Sumitro Djojohadikusumo, ayah dari Prabowo Subianto, menjabat sebagai Kepala Delegasi Indonesia ke PBB.

Setelah Perang Dunia II, Belanda pada dasarnya bangkrut dan bergantung pada bantuan rekonstruksi Amerika di bawah Rencana Marshall, yang digunakan secara salah untuk mendanai operasi militer di Indonesia.

Sumitro, yang saat itu baru berusia 31 tahun, ditugaskan oleh Presiden Sukarno untuk menghentikan dana Amerika yang digunakan oleh Belanda untuk ambisinya kolonial di Indonesia.

Sumitro melakukan lobi kepada pejabat AS di Washington dan PBB di New York.

Berkat upaya Sumitro, Menteri Luar Negeri AS, Robert A. Lovett akhirnya menghentikan bantuan kepada Belanda, karena klaim Sumitro terbukti: dana tersebut digunakan untuk operasi militer di Indonesia.

Berhentinya bantuan memaksa Belanda untuk bernegosiasi dengan Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar, akhirnya mengakui kemerdekaan Indonesia.

Usia muda dan kecerdasan Sumitro dalam narasi dan negosiasi, serta keterampilan jaringan internasionalnya, membuat Presiden Sukarno menugaskan tugas penting ini padanya.

Keberhasilan diplomasi naratif dan kekerabatan Sumitro memainkan peran penting dalam mengamankan kemerdekaan Indonesia setelah proklamasi.

Presiden Sukarno menunjuk Sumitro sebagai Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat ketika ia berusia 33 tahun.

Source link