GRAND GENERAL TNI (RET.) H. M. SUHARTO

by -82 Views

Pak Harto adalah seorang yang sangat rajin, disiplin, dan teliti. Saya menyaksikan kehidupan sehari-harinya. Dia bangun di pagi hari. Setiap hari dia tiba di kantor tepat pukul 08.00 pagi. Ciri khasnya adalah tulisannya yang rapi dan ingatannya yang kuat, juga dikenal sebagai ingatan fotografi. Dia juga sangat pandai dengan angka. Dia juga gemar membaca. Oleh karena itu, Pak Harto sangat mendorong orang untuk belajar ilmu pengetahuan dan teknologi, bahkan ke luar negeri, meskipun dia sendiri tidak pernah berpendidikan di luar negeri. Dia selalu tersenyum. Dia jarang marah atau terlihat marah. Ketika dia marah, dia akan diam. Dan dia tidak ingin berbicara kepada orang yang marah. Ini adalah beberapa kenangan saya tentang Pak Harto. Saya menjadi menantu Pak Harto pada tahun 1983. Saat itu, saya seorang kapten dan telah menjalankan operasi di Timor Timur dua kali. Yang pertama adalah pada tahun 1976 ketika saya menjadi Komandan Platoon dari Grup 1 KOPASSANDHA (sekarang KOPASSUS) dengan pangkat Letnan Dua. Saya bergabung dengan tim Nanggala 10 yang dipimpin oleh Mayor Infanteri Yunus Yosfiah. Yang kedua adalah pada tahun 1978, saat saya menjadi Komandan Kompi Komando Para yang bernama Chandraca 8. Pasukan saya saat itu adalah kompi pasukan serbu yang langsung di bawah pimpinan komandan sektor. Pertama, saya di bawah Komandan Sektor Timur Kolonel Infanteri R.K. Sembiring Meliala. Kemudian saya di bawah Komandan Sektor Tengah Letnan Kolonel Infanteri Sahala Rajagukguk. Saat itu, Kolonel Infanteri Sembiring adalah Komandan Resimen Tempur ke-18 (RTP 18) dengan Brigadir Linud 18 Infanteri KOSTRAD sebagai intinya. Sementara Letnan Kolonel Infanteri Sahala Rajagukguk adalah Komandan Resimen Tempur ke-6 (RTP 6), dengan Brigadir Infanteri KOSTRAD ke-6 sebagai intinya. Pak Harto adalah orang yang sangat rajin, disiplin, tepat waktu, dan teliti. Saya beruntung bisa menyaksikan kehidupan sehari-harinya. Dia bangun di pagi hari. Dia tiba di kantornya tepat pukul 08.00 pagi. Pukul 13.00 siang, dia akan pulang untuk makan siang. Di sore hari, dia bermain golf tiga kali seminggu. Sementara pada pukul 19.00 dari Senin hingga Jumat, dia menerima tamu. Dia makan malam pukul 21.00. Kemudian pukul 21.35, setelah siaran berita Dunia Dalam Berita di TVRI selesai, dia masuk ke ruang kerjanya. Ruang kerjanya sangat kecil. Meja di ruang kerja itu juga sangat kecil. Memang, jika kita membandingkannya dengan rumah-rumah saat ini, bahkan rumah saya sendiri, rumahnya relatif lebih kecil. Kamar tidurnya tidak dilengkapi kamar mandi. Itulah mengapa ruang kerjanya sangat kecil. Setiap malam, akan ada tumpukan map di mejanya yang bisa mencapai ketinggian 40-50 sentimeter. Saya mendengar dari ajudannya bahwa setidaknya ada 40 map dan surat yang dia baca dan tandatangani setiap malam dari Minggu hingga Jumat. Hanya pada Sabtu malam kita tidak akan menemukannya di mejanya. Saya sering melihatnya bekerja hingga pukul 01.00 atau bahkan 02.00 pagi. Sementara itu, dia akan bangun pukul 04.30 pagi atau paling lambat pukul 05.00. Kadang-kadang dia hanya mendapatkan 3-4 jam tidur. Ini berlangsung selama puluhan tahun. Kita hanya bisa membayangkan seberapa rajin dan telitinya dia. Kualitas khas lainnya adalah tulisannya yang rapi dan ingatannya yang kuat. Dia juga sangat pandai dengan angka. Pada tahun 1985, ketika saya baru saja diangkat sebagai Komandan Batalyon Infanteri 328/KOSTRAD, saya pergi untuk bertemu dengannya. Dia kemudian menceritakan kepada saya dengan panjang lebar pengalamannya dalam membentuk, merekrut, melatih, dan membangun sebuah batalyon tempur. Dia menceritakan pengalaman-pengalaman sebagai Pemimpin Regu, Komandan Peleton, Komandan Kompi, Perwira Operasi Batalyon, dan banyak lagi. Dia berbagi banyak teknik dan praktik yang praktis dan hal-hal yang sangat detail. Dia bahkan bisa mengingat tingkat pendidikan dari setiap anak buahnya dulu. Saya terkesan mendengar ceritanya. Pada saat itu, sudah 17 tahun sejak dia keluar dari TNI dan 35 tahun setelah tugas-tugasnya dalam Perang Kemerdekaan. Kita hanya bisa membayangkan bagaimana seorang Presiden, Kepala Negara, Kepala Pemerintahan yang mengendalikan agenda pembangunan nasional mulai dari pestisida, pupuk, benih, irigasi, pabrik pesawat, pabrik kereta api hingga masalah politik luar negeri, dan yang tidak pernah memimpin batalyonnya selama puluhan tahun, masih bisa dengan jelas mengingat pembentukan, rekrutmen, dan pelatihan unit militer di tingkat regu, peleton, kompi, dan batalyon. Saya menerapkan pelajaran yang dia bagikan kepada saya ketika saya menjadi Komandan Batalyon 328. Hal itu membuat Batalyon 328 sangat handal dan diakui oleh banyak orang sebagai salah satu batalyon yang paling tajam selama bertahun-tahun. Juga ciri khasnya adalah bahwa dia sangat memahami filsafat Jawa dan sejarah Nusantara. Pak Harto selalu merumuskan kepemimpinannya dengan ajaran-ajaran kuno dan filsafat Jawa. Ini masuk akal karena semua pendidikannya berlangsung di Indonesia, di kampung halamannya di desa Kemusuk, Yogyakarta. Sebagian besar bacaannya berasal dari para cendekiawan Jawa dari abad-abad sebelumnya. Filsafat yang sering dia ajarkan adalah ojo dumeh, ojo lali, ojo ngoyo, ojo adigang, adigung, adiguna; ditambah dengan ojo kagetan, ojo gumunan, dan sing becik ketitik sing olo ketoro. Buku yang dia terbitkan, Butir-Butir Budaya Jawa, sangat berguna. Ini adalah kumpulan ajaran, nasihat, dan pepatah. Buku ini sangat penting untuk memahami psikologi Indonesia dan memahami latar belakang budaya Indonesia karena, tentu saja, budaya Jawa sangat mempengaruhi pandangan Indonesia. Ajaran ini bukan sekadar slogan. Bagi banyak orang, ajaran-ajaran itu menjadi panduan untuk hidup sukses, panduan untuk keberadaan yang bahagia di kehidupan ini. Ini juga menjadi panduan yang sangat praktis, dan sebenarnya, menurut pendapat saya, mereka menjadi suara kebijaksanaan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Oleh karena itu, mereka yang mengikuti ajaran-ajaran itu memanfaatkan kebijaksanaan leluhur kita, dari nenek moyang dan orang tua kita. Saya ingin menceritakan satu kejadian ketika Batalyon 328 yang saya pimpin diperintahkan untuk melaksanakan operasi di Timor Timur. Satu malam sebelum berangkat, saya dipanggil oleh Pak Harto ke kediamannya di Jalan Cendana. Saya memberi tahu anak buah saya bahwa Pak Harto memanggil saya. Mereka bahagia. Telah menjadi tradisi bahwa ketika Panglima Tertinggi memanggil seseorang sebelum mereka melakukan misi, Pak Harto akan memberikan bantuan keuangan khusus kepada mereka. Dana ini bisa digunakan untuk memperkuat logistik, sehingga mengurangi beban para komandan. Saya tiba di Cendana sebelum pukul 8.30 malam. Setelah menerima tamu, beliau berjumpa dengan saya dan bertanya apakah benar saya akan melaksanakan operasi keesokan harinya. Saya menjawab dengan positif. Lalu beliau berkata, ‘Saya hanya memiliki tiga nasihat untukmu, Bowo. Ojo lali, ojo dumeh, ojo ngoyo. Pegang erat di hatimu!” Setelah saya menyatakan bahwa saya siap, Pak Harto dengan lembut meletakkan tangannya di atas kepala saya sebagai tanda berkat, seperti yang selalu dilakukannya kepada anak-anak, cucu-cucu, dan orang-orang yang dicintainya, dan membiarkan saya pergi. Setelah kembali ke batalyon di Cilodong, semua perwira menunggu di ruang operasi, yang kami sebut ruang Yudha, ruang perang. Mereka menunggu kabar baik dari kediaman Pak Harto. Saya menyampaikan kepada mereka bahwa saya hanya bertemu Pak Harto selama lima menit. Dalam pertemuan singkat, Pak Harto meninggalkan tiga pesan: Ojo lali, ojo dumeh, ojo ngoyo. Saya juga memberi tahu mereka bahwa, untuk sementara waktu, saya juga kaget dan sedikit kecewa. Karena alih-alih menerima dana, saya hanya diberi tiga nasihat. Namun, dalam perjalanan satu jam dari Cendana ke Cilodong, saya merenungkan tiga nasihat yang diberikan oleh seorang Komandan yang tumbuh dalam operasi tempur. Pak Harto adalah inisiator dan pelaksana Serangan Umum 1 Maret yang berhasil merebut kembali kendali Yogyakarta selama enam jam pada akhir tahun 1948. Bahkan, pada saat itu, militer Belanda sangat kuat di Jawa Tengah. Beliau juga terlibat dalam berbagai operasi penumpasan di Sulawesi, seperti pemberontakan Andi Azis. Beliau juga memimpin pembebasan Irian Barat sebagai Panglima Operasi Mandala. Beliau juga merupakan tokoh kunci dalam memadamkan pemberontakan G30S/PKI pada tahun 1965. Sebagai Panglima Tertinggi dengan pengalaman tempur yang luas, nasihat Pak Harto tentu harus memiliki makna yang sangat dalam. Pertama, ojo …

Source link