Serangan Hizbullah Memicu Kehancuran Terbesar di Wilayah Utara Israel Sejak Tahun 1948

by -109 Views

TEL AVIV – Serangan tanpa henti dari kelompok Hizbullah ke utara Israel sejak Oktober tahun lalu telah menciptakan dampak yang signifikan. Aksi untuk mendorong Israel mundur dari Gaza telah menyebabkan kehancuran yang belum pernah terjadi sejak tahun 1948.

Serangkaian roket dan serangan drone yang diluncurkan terhadap situs militer Israel di wilayah utara Palestina yang diduduki merupakan “bencana terbesar yang pernah dialami Israel sejak berdirinya negara tersebut,” kata Ronen Marelly, Wali Kota Nahariya, seperti yang dilaporkan oleh surat kabar Israel Maariv.

“Rutinitas yang tidak masuk akal ini terus berlanjut, dan saya yakin negara ini sedang menuju kehilangan Galilea [Al-Jalil],” ujar Marelly dalam wawancara radio. Ia memperingatkan bahwa Israel akan segera kehilangan Al-Jalil karena gagal mengembalikan pemukim ke rumah mereka.

Walikota Margaliot, Eitan Davidi, mengatakan bahwa orang yang bertanggung jawab atas situasi di utara Israel adalah Sayyed Hassan Nasrallah, Sekretaris Jenderal Hizbullah. “Kita [Israel] mengikuti langkah yang dia tetapkan untuk kita.”

Dalam wawancara dengan Channel 14 Israel, Davidi menyatakan bahwa serangan terhadap Margaliot telah menjadi rutinitas dan pasukan penjajahan Israel (IDF) tidak mengikuti garis depan sesuai dengan perintah Kabinet Perang.

Seorang anggota penjaga pemukiman Israel mengatakan bahwa jalan dari Metulla ke Kfar Giladi sepenuhnya terbuka ke Lebanon, menjadikan setiap gerakan sebagai target yang mudah bagi Hizbullah. “Ini seperti permainan rolet Rusia yang berbahaya setiap kali kami ingin pergi ke Utara,” katanya. Ia menambahkan bahwa nasib pemukim di wilayah tersebut sepenuhnya di tangan Hizbullah.

“Jika rudal tersebut meleset dari mobil yang sedang bergerak, maka itu akan menyebabkan lahan cadangan terbakar, dan hal ini merupakan hal yang lazim.”

Metulla digambarkan sebagai “pulau” yang dikelilingi oleh tanah Lebanon dari tiga arah berbeda, menjadikannya pemukiman yang paling parah mengalami kerusakan sejak dimulainya perang. Dewan setempat memperkirakan bahwa dari 600 unit pemukiman, 40 di antaranya rusak akibat roket antitank Hizbullah, sementara 200 lainnya rusak akibat pecahan peluru rudal dan pemboman.

Kini dianggap sebagai kota hantu, di wilayah Kiryat Shmona masih tercium bau kebakaran setelah kebakaran besar yang menghanguskan ribuan hektare lahan akibat serangan Hizbullah. Lampu lalu lintas telah dimatikan untuk memungkinkan pemukim mengemudi dengan cepat jika mereka perlu bersembunyi dari roket Hizbullah.

Sekitar 700 roket menghujani Kiryat Shmona, menghancurkan dan merusak setidaknya 1.000 unit rumah. Hampir setiap kompleks pemukiman telah terbengkalai, tanaman tumbuh secara acak di ruang publik, dan ikan mencapai pertumbuhan maksimal karena tidak ada lagi yang memancing.

Di Manara, seorang tuan tanah memperkirakan 70 persen unit hunian rusak, termasuk gedung pemerintah. Di al-Malikiya, truk pemadam kebakaran sudah lama tidak pergi ke pemukiman, namun api masih berkobar, dan para pemukim berusaha memadamkan api di sekitar mereka. Seorang pemukim mengatakan bahwa sebuah roket menargetkan pemukiman tersebut setiap detik, menyebabkan 30 rumah rusak total, dan lahan masih terbakar.

Sementara Avivim digambarkan sebagai tanah tandus yang terbakar, tempat hutan dulunya tumbuh. Sejauh ini 60 rumah telah rusak, karena pemukiman itu menghadap ke desa Maroun al-Rass di Lebanon.

Kunjungan ke Avivim tidak mungkin dilakukan, kecuali pada hari Idul Adha, ketika Hizbullah berhenti menembak. Walikota pemukiman tersebut menyatakan bahwa dia merasa menjadi beban bagi pemerintah, yang terus mengabaikan tuntutan dan para pemukim.

Pintu keluar dari semua pemukiman di utara Israel saat ini menunjukkan dampak perang. Surat kabar Maariv mengatakan bahwa benteng pertahanan di sepanjang jalan adalah tanda-tanda perang yang akan datang, namun pepohonan di hutan yang berubah menjadi arang serta bau kebakaran yang menyengat menunjukkan bahwa perang telah dimulai.

Sumber: Republika