Diskusi Aturan Intelijen di Indonesia oleh Prodi HI UKI dan DPR RI

by -86 Views

Diskusikan Aturan Intelijen di Indonesia oleh Prodi HI UKI Bersama DPR RI

Undang-Undang No. 17/2011 menyatakan bahwa intelijen negara memiliki peran dalam melakukan upaya, pekerjaan, kegiatan, dan tindakan untuk deteksi dini dan peringatan dini guna mencegah, menangkal, dan mengatasi semua ancaman yang muncul dan mengancam kepentingan serta keamanan nasional.

Anggota Komisi I DPR RI, Mayor Jenderal TNI (Purn.) Dr. H. Tubagus Hasanuddin, S.E., M.M., M.Si, mengungkapkan hal ini dalam Focus Group Discussion (FGD) “Aturan Tambahan dalam Spionase: Jejaring Atau Kuasa, Sebuah Diskursus” yang diselenggarakan oleh Prodi Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Kristen Indonesia (UKI) bersama dengan Departemen HI UI, di Ruang Executive FEB Gedung AB UKI (11/06).

“Jadi peran intelijen negara adalah melakukan kegiatan deteksi dan peringatan secara dini atas ancaman kepentingan dan keamanan nasional,” ujar Tubagus Hasanuddin.

Menurut Tubagus, Undang-Undang Intelijen mengatur kegiatan intelijen, namun yang terpenting adalah bahwa kegiatan tersebut harus didasari oleh moral agar tidak disalahgunakan untuk kepentingan lain.

Teknologi alat sadap telah berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir, memungkinkan pengawasan yang lebih efektif dan invasif. Alat-alat ini sering digunakan untuk memantau komunikasi digital, termasuk pesan teks, panggilan telepon, dan aktivitas online lainnya, namun juga sering disalahgunakan.

Lebih lanjut, Tubagus Hasanuddin menjelaskan bahwa dalam UU Intelijen negara, hal yang menjadi perhatian adalah penyadapan. “Ada tujuan yang baik dari penyadapan asal tetap melindungi hak asasi manusia,” ujarnya.

Guru Besar ilmu keamanan internasional Fisipol UKI, Prof. Angel Damayanti, Ph.D. menyoroti aturan tentang penyadapan yang termuat dalam Rancangan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

“Yang terpenting adalah bahwa aturan penyadapan dalam spionase harus mengedepankan keamanan dan hak asasi manusia. Aparat penegak hukum melakukan sabotase penyadapan untuk menjaga keamanan negara dari ancaman. Oleh karena itu, perlu kebijakan pemerintah agar peraturan spionase atau intelijen tidak merampas kebebasan individu,” ujar Prof. Angel Damayanti.

Prof. Angel menjelaskan tentang Rancangan Undang-Undang (RUU) spionase, norma, dan etika dalam memperoleh informasi, serta pentingnya kejelasan dalam mendefinisikan ancaman agar dapat membuat regulasi yang efektif.

“Dalam penyusunan RUU, penting untuk menyamakan persepsi tentang apa yang dianggap sebagai ancaman. Misalnya, dalam kasus terorisme, terdapat perbedaan pandangan mengenai apakah perempuan, remaja, dan anak dianggap sebagai korban, pelaku, atau ancaman. RUU harus jelas mengatur apakah barang bukti digital yang diperoleh melalui spionase dapat digunakan untuk mengadili kasus terorisme, yang akan membantu hakim dalam memberikan hukuman yang lebih adil,” jelas Prof. Angel.

Narasumber lainnya, Kepala Program Studi Hubungan Internasional Fisipol UKI, Arthuur Jeverson Maya, M.A., menyatakan pandangannya mengenai kontradiksi dalam hubungan negara dengan spionase, serta pentingnya kemajuan teknologi dalam akses informasi.

“Spionase merupakan bentuk perang tertutup yang melibatkan kegiatan pengawasan dan pengumpulan informasi secara rahasia,” ujar Arhuur.

Menurut Direktur Centre for Social Justice and Global Responsibility UKI ini, terdapat kontradiksi antara keterbukaan dan kerahasiaan dalam hubungan negara dan spionase. “Di satu sisi, negara harus transparan untuk mempertahankan legitimasi dan kepercayaan publik, namun di sisi lain, kerahasiaan diperlukan untuk melindungi keamanan nasional,” ujarnya.

“Pentingnya kemajuan teknologi dalam akses dan analisis informasi. Perbedaan kecepatan akses informasi dapat menjadi tantangan besar, sehingga negara harus terus memperbarui dan meningkatkan teknologi mereka untuk memastikan bahwa informasi dapat diperoleh dan digunakan secara efektif. Selain itu, pentingnya regulasi yang jelas dan tegas untuk mengatur kegiatan spionase agar tidak menimbulkan masalah etika dan hukum di kemudian hari,” jelas Arthuur.

FGD ini dihadiri pula oleh Guru Besar Fakultas Teknik dan Ilmu Komputer Universitas Bakrie, Prof. Hoga Saragih, Ph.D; Direktur Riset Indo Pacific Strategic Intelligence, Aisha Rasyidilla Kusumasomantri, M.Sc dan Direktur Cesfas UKI, Darynaufal Mulyaman sebagai moderator.

“Ruang diskusi terkait spionase dan intelijen harus tetap terbuka meskipun isunya sensitif. Dinamika sosial adalah rekonstruksi sosial yang dapat direkonstruksi kembali, karena setiap hal memiliki sudut pandang yang berbeda. Yang jelas, jangan pernah melanggar etika dan moral dalam menindas kebebasan berpendapat publik,” tutup moderator. (Z-7)

Sumber: https://mediaindonesia.com/humaniora/677584/prodi-hi-uki-bersama-dpr-ri-diskusikan-aturan-intelijen-di-indonesia

Source link