Oleh: Prabowo Subianto, diambil dari “Strategi Transformasi Nasional: Menuju Indonesia Emas 2045,” halaman 223-227, edisi softcover keempat.
Bagi saya, masuk ke dunia politik berarti menerima pengorbanan – energi, waktu, dan emosi. Namun, tanpa terlibat dalam politik, tidak akan ada cara bagi saya untuk meningkatkan kehidupan banyak orang.
Memang, saya yakin bahwa perbaikan substansial dalam kehidupan warga negara kita tidak bisa dicapai dengan sekadar keluhan dan kritik. Dan kita tidak bisa memperbaiki negara kita dengan sekadar diam di pinggiran atau dengan menegur tanpa tindakan.
Beberapa dari Anda yang membaca buku ini mungkin sudah terlibat dalam politik, atau setidaknya memahami dan peduli dengan politik nasional kita. Beberapa mungkin tidak. Bagi mereka yang belum terlibat, saya mendorong Anda untuk merenungkan hal berikut.
Ada saat dalam hidup kita ketika kita harus membuat pilihan sulit. Apakah kita akan berdiri untuk kebenaran, atau kita akan menghormati kebohongan?
Apakah kita akan dengan tegas membela integritas dan kemerdekaan negara kita dan nilai-nilai yang kita junjung tinggi? Atau, apakah kita akan tunduk pada godaan materi, menjual nilai-nilai kita, diri kita, identitas kita, dan martabat kita?
Pilihan-pilihan seperti ini sangat sulit.
Pada tahun 1945, pemimpin kita dihadapkan pada dilema seperti itu: menyatakan kemerdekaan atau menunggu diberikannya oleh penjajah. Mereka yang menganjurkan untuk segera menyatakan kemerdekaan menghadapi segalanya, termasuk nyawa mereka.
Di malam 10 November 1945, rakyat dan pemimpin Surabaya dihadapkan pada pilihan sulit: menyerahkan senjata mereka sesuai dengan tuntutan Inggris sebelum 9 November atau menghadapi serangan dari kekuatan super global saat itu.
Bayangkan dampak terhadap kebanggaan nasional kita jika para pemimpin dan warga Surabaya menyerah. Bagaimana jika Gubernur Suryo, Bung Tomo, dan semua pemimpin Jawa Timur dan Surabaya tunduk pada tuntutan asing? Di mana martabat kita akan berdiri saat ini?
Krisis besar negara kita pada tahun 1965 juga menawarkan pilihan tegas: membela Pancasila atau menyerah pada ideologi asing bagi negara kita, komunisme?
Demikian pula, selama masa Reformasi tahun 1998, banyak pemimpin kita dihadapkan pada pilihan sulit: membela sistem yang tidak demokratis atau dengan berani memperjuangkan reformasi dan demokrasi?
Selama 20 tahun perjalanan politik saya, saya terus-menerus menyampaikan pesan yang terkandung dalam buku ini. Sepanjang jalan, banyak lawan mencoba untuk mencemarkan nama saya, menggambarkan saya sebagai orang yang haus kekuasaan dan cenderung kekerasan.
Namun, setelah puluhan tahun, saya telah membuktikan komitmen saya terhadap perdamaian. Sebagai mantan prajurit yang telah menyaksikan perang dan korban yang diakibatkannya, yang telah melihat rekan-rekan jatuh dan harus memberitahukan keluarga mereka tentang kematian mereka, saya selalu memilih jalan perdamaian. Tuduhan yang dilemparkan kepada saya benar-benar tidak beralasan. Saya dituduh ingin menutup semua gereja di Indonesia, padahal sebagian dari keluarga saya adalah Kristen. Di antara mereka yang dekat dengan saya – pengawal, ajudan, dan sekretaris saya – ada yang beragama Kristen.
Sebagai mantan prajurit TNI, saya bersumpah untuk membela semua orang Indonesia, tanpa memandang etnisitas, agama, atau ras. Saya telah mengorbankan nyawa saya, dan banyak bawahan dari berbagai latar belakang telah gugur di bawah komando saya.
Bagaimana mungkin saya mengkhianati sumpah saya dan melupakan pengorbanan bawahan saya?
Saya juga secara salah dituduh sebagai anti-Tionghoa, meskipun selalu membela semua kelompok minoritas. Fitnah seperti itu adalah sisi gelap dari politik. Saya selalu mendorong teman-teman dan pendukung saya untuk tetap sabar dan tenang. Jangan merespons kebencian dengan kebencian, kejahatan dengan kejahatan, fitnah dengan fitnah. Meskipun kita tetap sabar, kita juga harus siap – secara mental, fisik, dan spiritual. Bagi mereka yang membaca buku ini, saya meminta Anda untuk merenungkan pendapat Anda, sikap Anda, tanggapan Anda di tengah malam.
Saya bertanya-tanya apakah kita secara kolektif akan membela kebenaran atau tunduk pada kebohongan, penipuan, ketidakadilan?
Dan dalam hari-hari mendatang, setelah refleksi Anda, saya mengundang Anda untuk mengambil langkah-langkah menuju masa depan. Saya telah memilih untuk bertarung secara konstitusional. Saya menolak untuk tunduk pada keadaan yang tidak adil dan tidak benar. Saya percaya bahwa apa yang sedang dialami Indonesia saat ini sangat dipengaruhi oleh campur tangan asing. Beberapa negara ingin melihat Indonesia lemah, hancur, dan miskin.
Saya memiliki bukti kuat tentang keterlibatan mereka. Namun, kita harus tetap tenang. Kita perlu bersabar dan memiliki keyakinan pada kekuatan kita sendiri.