Mayor Elias Daan Mogot – prabowo2024.net

by -253 Views

Pada bagian ini, saya ingin berbagi cerita tentang kedua paman saya, sebelum saya bercerita tentang teman seperjuangan mereka. Saat saya masih kecil, kakek saya, Margono Djojohadikusumo, sering bercerita tentang kedua putranya, yaitu paman Subianto dan paman Sujono.

Setelah kemerdekaan, kedua paman saya, Subianto dan Sujono, bergabung dengan tentara. Salah satunya langsung menjadi perwira, karena dia lulus dari Fakultas Kedokteran. Mungkin karena lulus dari fakultas tersebut, dia langsung diangkat menjadi perwira. Yang satu lagi masuk Akademi Militer Tangerang.

Di rumah kakek saya di Jalan Taman Matraman No. 10, sekarang namanya Jalan Taman Amir Hamzah, di Jakarta, terdapat ruangan yang dijadikan tempat peringatan bagi paman saya, Subianto dan Sujono. Kamar kedua paman saya tersebut di Taman Matraman waktu itu tetap dipertahankan. Perlengkapan militer mereka seperti ransel, helm, dan sepatu masih disimpan di sana. Setiap kali saya berkunjung ke rumah kakek pada hari Minggu, dia sudah menyiapkan tenda milik paman Subianto untuk dipasang kembali. Saya pun sering diminta untuk bermain di tenda tersebut. Saya dibawa ke kamar mereka dan diperlihatkan perlengkapan militer mereka seperti ransel, sepatu, helm, dan tempat tidur mereka.

Kedua paman saya tewas dalam pertempuran melawan tentara Jepang di Lengkong, Tangerang Selatan pada tahun 1946. Mereka gugur bersama dengan rekan seperjuangan mereka, Daan Mogot, seorang Mayor yang mendirikan Akademi Militer Tangerang pada usia 17 tahun.

Elias Daniel Mogot, yang lebih dikenal dengan nama Daan Mogot, adalah seorang perwira Tentara Republik Indonesia (TRI) yang sangat cemerlang karirnya. Ia menjadi Mayor pada usia 16 tahun setelah mengikuti pendidikan Pembela Tanah Air (PETA) pada usia 14 tahun.

Daan Mogot lahir di Manado pada tahun 1928. Ia bergabung dengan pasukan PETA pada masa pendudukan Jepang pada tahun 1942. Saat bergabung dengan PETA, sebenarnya ia belum memenuhi syarat usia dari pemerintah militer Jepang yaitu 18 tahun.

Namun, berkat kecerdasan dan prestasinya selama pendidikan militer, ia justru dipromosikan menjadi pembantu instruktur PETA di Bali pada tahun 1943. Setelah dilantik menjadi perwira PETA, Daan Mogot, Zulkifli Lubis, dan Kemal Idris bersama beberapa perwira PETA lainnya mendirikan sekolah untuk melatih para calon anggota PETA di Bali.

Pada tahun 1944, Daan Mogot ditempatkan sebagai staf Markas Besar PETA di Jakarta hingga Jepang menyerah pada 15 Agustus 1945. Pasca proklamasi kemerdekaan RI, Daan Mogot bergabung dengan Barisan Keamanan Rakyat (BKR) dan mendapat pangkat Mayor. Saat itu usianya baru 16 tahun.

Dengan pengalaman sebagai instruktur PETA di Bali, Daan Mogot bersama rekan-rekannya sebagai perwira menggagas pendirian akademi militer. Gagasan tersebut ditanggapi serius oleh Markas Besar Tentara (MBT) di Jakarta dan pada November 1945 didirikanlah Militaire Academie Tangerang (MAT).

Berkat ketekunan dan keberhasilannya memimpin pasukan, ia menjadi direktur Akademi Militer Tangerang yang pertama. Ia mendapat tugas untuk mendidik calon-calon perwira Indonesia untuk ikut serta dalam perang merebut kemerdekaan.

Pada akhir Januari 1946, pasukan Belanda dan KNIL menduduki Parung dengan tujuan merebut depot senjata tentara Jepang di Lengkong. Tanggal 25 Januari 1946, pasukan di bawah pimpinan Daan Mogot, yang terdiri dari 70 kadet MA Tangerang dan 8 tentara gurkha, berangkat dalam misi operasi tersebut untuk mencegah senjata tentara Jepang yang sudah menyerah agar tidak jatuh ke tangan tentara Belanda.

Sekitar pukul 16.00 WIB, pasukan tiba di markas Jepang. Kehadiran empat serdadu gurkha berhasil meyakinkan pihak Jepang bahwa rombongan tersebut adalah gabungan TKR dan Sekutu. Daan Mogot bersama beberapa tentara memasuki kantor Kapten Abe guna menjelaskan maksud kedatangannya.

Di luar, para kadet di bawah pimpinan Letnan Subianto dan Letnan Soetopo tanpa menunggu hasil perundingan langsung melucuti tentara Jepang. Senjata-senjata Jepang tersebut berhasil dikumpulkan. Namun tiba-tiba terdengar suara letusan senjata, yang memicu kepanikan tentara Jepang dan bertempur melawan para kadet MAT. Pertempuran berakhir ketika hari mulai gelap, di mana beberapa prajurit ditawan dan prajurit lainnya berhasil melarikan diri. Mayor Daan Mogot, Letnan Satu Subianto Djojohadikusumo, Kadet Sujono Djojohadikusumo, dan dua perwira dari Polisi Tentara serta 33 prajurit tewas dalam pertempuran, paman Subianto berusia 21 tahun, sedangkan Sujono berusia 16 tahun. Peristiwa ini dikenal sebagai Pertempuran Lengkong.

Sumber: https://prabowosubianto.com/mayor-elias-daan-mogot/

Source link