Tibet Sebagai Isu Sensitif bagi Cina

by -134 Views

Pada awal tahun 2024 mendatang, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berencana mengadakan Tinjauan Berkala Universal (Universal Periodic Review/UPR) yang akan mengkaji perilaku hak asasi manusia negara-negara anggota PBB. Salah satu negara yang akan ditinjau adalah Cina.

Sejumlah pengamat memperkirakan langkah PBB ini akan semakin membuat Cina tidak nyaman, mengingat saat ini China banyak mendapat kritik internasional atas rekam jejak mereka di Tibet. Center for Indonesian Domestic and Foreign Policy Studies (CENTRIS) menilai sangat wajar jika banyak pengamat dan aktivis yang khawatir dengan nasib serta masa depan Tibet.

Menurut peneliti senior CENTRIS, AB Solissa, PBB sendiri menyebut China telah memisahkan sekitar 1 juta anak Tibet dari keluarga mereka. Beijing disebut hendak menempatkan di sekolah berasrama khusus yang dikelola oleh otoritas Tiongkok. Para pakar hak asasi manusia (HAM) PBB, antara lain Fernand de Varennes dan Farida Shaheed telah menyuarakan peringatan atas penerapan asimilasi paksa yang menindas di Tibet.

Sistem pendidikan di Tibet pada dasarnya telah menjadi tempat tinggal menurut data resmi Tiongkok, dan sekitar 800.000 siswa Tibet berusia 6-18 tahun (78%) tinggal di sekolah-sekolah tersebut. Para orang tua Tibet disebut terpaksa mengirim anak-anak mereka ke sekolah-sekolah tersebut karena kurangnya alternatif, dan juga karena ancaman dan intimidasi dari pihak berwenang.

Masyarakat dunia, khususnya Indonesia, diharapkan tidak boleh diam dengan melihat aksi Beijing meluluhlantakkan peradaban Tibet, terutama kepada anak-anak yang sejatinya adalah masa depan bangsa Tibet. Sejumlah laporan dan informasi yang dihimpun juga menyebutkan bahwa sekolah berasrama kolonial Beijing di Tibet adalah pusat pendidikan dan pelatihan sejak 2016.

Dari berbagai laporan sejumlah media massa, Beijing tengah berupaya menghapus budaya, kepercayaan, dan tradisi Tibet, yang hingga saat ini tetap dipegang teguh oleh masyarakat pribumi di sana. Otoritas di wilayah Tibet juga terus membatasi kebebasan beragama, berekspresi, bergerak, dan berkumpul.

Pemerintah China meningkatkan kebijakan asimilasi yang bersifat memaksa di berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam pendidikan dan penggunaan bahasa Mandarin dalam kehidupan sehari-hari. Implikasi dari upaya asimilasi ini berdampak pada identitas, budaya, dan keberlangsungan masa depan masyarakat Tibet.