Ribuan Warga Gaza Berjalan Kaki ke Selatan, Menghadapi Kembali Nakba di Depan Mata Mereka

by -138 Views

GAZA – Ribuan warga Palestina melarikan diri dari Gaza utara ke wilayah Selatan pada hari Rabu (8/11/2023), mereka menempuh perjalanan bermil-mil dengan berjalan kaki. Mereka melalui daerah Gaza yang hancur dan porak poranda dalam eksodus yang dipicu oleh serangan darat dan udara Israel yang semakin intensif.

Gelombang pengungsi mulai dari pria dewasa, wanita, anak-anak, hingga orang tua dan penyandang cacat, berjalan menyusuri Jalan Salah Eddin, salah satu dari dua jalan raya utara-selatan di Gaza. Jalan ini merupakan koridor evakuasi yang diumumkan oleh Pasukan Pertahanan Israel (IDF).

Seorang gadis remaja membandingkan gelombang massa ini dengan “Nakba,” atau bencana, istilah Arab untuk pengusiran massal warga Palestina dari kota-kota mereka selama pendirian Israel. Ini adalah hari kelima berturut-turut IDF membuka jendela evakuasi, dan jumlah orang yang melarikan diri ke selatan terus meningkat setiap harinya.

PBB mengatakan 2.000 orang telah mengungsi ke selatan pada hari Ahad, dan meningkat menjadi 15.000 orang pada hari Selasa (7/11/2023). Pemerintah Israel mengatakan 50.000 warga Gaza melakukan perjalanan melalui koridor evakuasi pada Rabu (8/11/2023).

Jumlah tersebut tidak dapat diverifikasi secara independen, namun seorang jurnalis CNN yang berada di lokasi kejadian mengatakan bahwa jumlah yang pergi lebih besar daripada Selasa (7/11/2023).

Israel telah meningkatkan serangannya di dalam Gaza, menyusul serangan 7 Oktober yang menewaskan 1.400 orang di Israel. Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant pada Selasa mengklaim bahwa pasukan IDF berada di “jantung Kota Gaza” dan menargetkan infrastruktur dan komandan Hamas di sana. Tidak jelas di mana tepatnya Israel bertempur.

“Gaza adalah benteng teror terbesar yang pernah dibangun oleh manusia. Seluruh kota ini adalah satu basis teror besar. Di bawah tanah, mereka memiliki terowongan berkilo-kilometer yang menghubungkan ke rumah sakit dan sekolah,” kata Gallant.

“Kami terus membongkar akses ini.”

IDF telah membombardir Gaza selama berminggu-minggu, dan mengatakan bahwa mereka telah menghantam 14.000 target teroris di wilayah yang padat penduduknya itu.

Seorang pria yang tidak menyebutkan namanya mengatakan kepada seorang jurnalis CNN di Gaza selatan bahwa ia dan tetangganya telah mengalami “hari-hari yang mengerikan”. Ia mengatakan bahwa mereka telah meninggalkan rumah mereka di Gaza utara dan berpindah-pindah tempat tinggal beberapa kali, namun tidak mungkin untuk menghindari serangan udara.

“Perang ini tidak menyisakan tempat yang aman – tidak ada gereja, tidak ada masjid, atau apa pun. Hari ini, mereka menjatuhkan selebaran yang memerintahkan kami untuk pergi ke daerah yang dianggap aman. Sekarang kami berada di luar wilayah Wadi Gaza, dan kami masih mendengar pengeboman. Tidak ada tempat yang aman di Gaza.”

“Kami adalah tujuh keluarga. Semua rumah kami sudah tidak ada. Tidak ada yang tersisa. Kami tidak bisa membawa apa-apa – tidak ada pakaian, air, tidak ada apa-apa. Jalan menuju ke sini sangat sulit. Jika ada sesuatu yang jatuh, Anda tidak boleh mengambilnya. Anda tidak boleh melambat. Mayat di mana-mana.”

Baraa, seorang gadis berusia 16 tahun, mengatakan bahwa ia telah berjalan untuk waktu yang lama.

“Rasanya seperti Nakba (bencana) pada tahun 2023,” katanya.

“Kami berjalan melewati orang-orang yang tercabik-cabik, mayat-mayat. Kami berjalan di samping tank. Orang-orang Israel memanggil kami, dan mereka meminta orang-orang untuk melepaskan pakaian mereka dan melemparkan barang-barang mereka. Anak-anak sangat lelah karena tidak ada air.”

“Kami berada di bawah penembakan berat dan tidak punya pilihan selain meninggalkan daerah kami,” kata Hani Bakhit.

“Kami akhirnya menggunakan gerobak keledai karena tidak ada mobil, bahan bakar, atau air minum yang tersedia. Tidak ada yang tersisa untuk kami. Mereka memaksa kami untuk pergi dengan memotong semua sumber daya yang tersedia,” katanya, merujuk pada pasukan Israel.

“Orang-orang yang tidak ada hubungannya dengan perlawanan dibom sehingga mereka melarikan diri ke selatan,” kata Khader Hamad. “Mereka semua adalah anak-anak, bayi yang baru lahir, perempuan.”