Trauma yang Ditanggung Anak-Anak Gaza

by -121 Views

Orang tua dan psikiater di daerah kecil dan padat di Gaza, Palestina, mulai khawatir. Anak-anak di Gaza menunjukkan tanda-tanda trauma dalam dua minggu setelah pemboman hebat yang dilakukan oleh Israel.

“Anak-anak… mulai mengalami gejala trauma serius seperti kejang-kejang, mengompol, ketakutan, perilaku agresif, gugup, dan tidak meninggalkan orang tua mereka,” kata psikiater Gaza, Fadel Abu Heen.

Kekhawatiran terhadap kondisi psikologis anak-anak muncul karena tidak adanya tempat yang aman untuk bersembunyi dari bom dan sedikitnya kemungkinan untuk beristirahat. Padahal, anak-anak merupakan setengah dari total penduduk Gaza yang mencapai 2,3 juta jiwa.

Mereka hidup di bawah serangan yang terus-menerus dan banyak dari mereka mengungsi ke tempat penampungan sementara di sekolah-sekolah yang dikelola oleh PBB. Anak-anak ini meninggalkan rumah mereka dengan persediaan makanan dan air yang sangat terbatas.

“Kurangnya tempat yang aman telah menciptakan rasa takut dan ngeri di kalangan seluruh penduduk, namun anak-anaklah yang paling terdampak,” kata Abu Heen.

“Beberapa dari mereka bereaksi secara langsung dan menunjukkan ketakutan mereka. Meskipun mereka mungkin membutuhkan intervensi segera, kondisi mereka mungkin lebih baik dibandingkan dengan anak-anak lain yang menyimpan ketakutan dan trauma di dalam diri mereka,” tambahnya.

Israel diperkirakan akan melancarkan serangan darat ke Gaza, yang akan meningkatkan jumlah korban jiwa di Gaza yang telah mencapai lebih dari 4.100 orang. Dari total jumlah korban jiwa di Gaza akibat serangan Israel, lebih dari 1.500 di antaranya adalah anak-anak.

Kondisi di tempat penampungan sementara di sekolah-sekolah PBB, tempat lebih dari 380 ribu orang mencari perlindungan, hanya menambah masalah. Terkadang ada 100 orang yang tidur di setiap ruang kelas, yang semuanya membutuhkan kebersihan yang terus-menerus. Pasokan listrik dan air sangat terbatas, sehingga kamar mandi dan toilet menjadi sangat kotor.

“Anak-anak kami sangat menderita di malam hari. Mereka menangis sepanjang malam, mereka buang air kecil tanpa disengaja, dan saya tidak punya waktu untuk membersihkannya satu per satu,” ujar Tahreer Tabash, seorang ibu dari enam anak yang mengungsi di tempat penampungan sekolah PBB.

Bahkan di tempat penampungan tersebut, mereka tidak aman karena sekolah-sekolah tersebut beberapa kali diserang. Tabash telah menyaksikan serangan yang menghancurkan gedung-gedung di dekatnya. Ketika anak-anaknya mendengar suara kursi dipindahkan, mereka langsung ketakutan.

Jika anak-anak tidak ditampung di sekolah PBB, mereka akan berdesakan di rumah-rumah yang sangat sempit. Sebagai contoh, sebuah rumah di Khan Younis, selatan Gaza, menampung sekitar 90 orang, termasuk 30 anak di bawah 18 tahun. Mereka harus tidur secara bergiliran karena ruang yang sangat terbatas.

“Saat ada ledakan atau sasaran yang terkena tembakan di dekatnya, mereka selalu berteriak, selalu ketakutan. Kami mencoba menenangkan anak-anak yang lebih muda dan memberi tahu mereka, ‘Jangan khawatir, itu hanya kembang api’. Namun, yang lebih tua mengerti apa yang sedang terjadi,” kata Ibrahim al-Agha, seorang insinyur yang berlindung di dalam rumah tersebut.

“Mereka akan membutuhkan banyak dukungan mental setelah perang ini berakhir,” tambahnya.

Kondisi kesejahteraan psikososial anak-anak di Gaza sangat rendah.

Sumber: Republika